Bayang-bayang Transformasi Kurikulum
oleh
M. Teguh Satriyo, S.Pd., M.Si.
(Guru Bahasa Indonesia SMA Kesatrian 2 Semarang, Mahasiswa PBSI Pascasarjana UPGRIS)
Kurikulum merupakan komponen penting dalam dunia Pendidikan. Berjalan atau tidaknya, baik atau tidaknya sistem pendidikan juga dipengaruhi oleh kurikulum. Kurikulum dan pendidikan sangat berkaitan erat, keduanya tidak dapat dipisahkan. Sehingga keberadaan kurikulum tidak boleh dipandang remeh oleh siapa saja untuk mewujudkan pendidikan terbaik.
Kurikulum dapat dianalogikan sebagai kiblat atau arah tujuan pendidikan. Segala pedoman, rambu-rambu dalam proses belajar mengajar terkontrol dan terpusat pada tubuh kurikulum. Dari sinilah nanti dapat dilihat tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan.
Untuk mencapai tujuan dan keberhasilan dalam dunia pendidikan, kurikulum yang bersifat dinamis perlu terus untuk dilakukan pengembangan dan pembaruan. Lalu, mengapa kurikulum harus dikembangkan? Hal ini tentu bukan tanpa tujuan dan tanpa alasan. Kurikulum dikembangkan dengan tujuan agar dapat menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan perkembangan zaman. Selain itu, tujuan dikembangkannya kurikulum juga untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, mengakomodasi kebutuhan para peserta didik, serta untuk melakukan efisiensi dalam segala hal yang mendukung proses kegiatan pendidikan.
Dalam kurun waktu kurang lebih 75 tahun, sejak pertama kali dibentuk (Kurikulum 1947) hingga kini (Kurikulum Merdeka), kurikulum telah mengalami transformasi sebanyak sebelas kali. Memang, pada setiap perubahan/pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah tidak serta-merta mengubah secara total, melainkan mengembangkan kurikulum agar sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, tidak semua niat baik pemerintah selalu mendapat respons baik pula dari berbagai kalangan. Bahkan hal ini memicu munculnya stigma, bahwa ‘ganti menteri, ganti kurikulum’. Apakah benar begitu? Tentu saja tidak.
Setiap pengembangan kurikulum pasti didasari dengan alasan yang kuat. Sebagai contoh ketika Kurikulum 1947 yang dikembangkan menjadi Kurikulum 1952. Pada Kurikulum 1947, hal yang ditekankan yakni pembentukan karakter manusia Indonesia merdeka. Wajar saja, karena pada masa itu Indonesia baru sekitar dua tahun lepas dari masa penjajahan dan baru menikmati kemerdekaan. Lima tahun kemudian (1952), pemerintah berupaya menyempurnakan Kurikulum 1947 menjadi Kurikulum 1952. Pengembangan yang dilakukan ini dapat terlihat pada aturan bahwa satu orang tenaga pendidik hanya dapat mengajar satu mata pelajaran saja. Begitupun pengembangan-pengembangan kurikulum yang dilakukan pada masa-masa berikutnya; tujuannya tak lain untuk menyempurnakan kurikulum dan mencapai tujuan pendidikan terbaik. Termasuk yang dapat dilihat pada pengembangan Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Merdeka. Jika dipahami dan diterapkan dengan benar oleh satuan pendidikan, kurikulum ini tentu sangat baik untuk melahirkan generasi-generasi terbaik Indonesia.
Kurikulum Merdeka dikenalkan oleh Kemendikbudristek sekira Februari 2022. Masa di mana pendidikan sedang mengalami masa sulit. Yakni masa pandemi yang memaksa keadaan untuk dilakukan pembelajaran secara daring. Jika dipahami lebih jauh, Kurikulum Merdeka mengerucut pada tujuan untuk memperuncing dan mempertajam minat dan bakat siswa sejak dini. Kebijakan pengembangan kurikulum ini tentu hal yang baik bukan? Meski diakui, harus terjadi adaptasi secara masif oleh semua elemen pendidikan.
Hal yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam melakukan pengembangan kurikulum agar tidak menimbulkan stigma ‘ganti menteri, ganti kurikulum’ ialah keputusan gonta-ganti istilah. Misal, sepanjang sejarah pengembangan kurikulum sejak 1947 hingga sekarang, yang pernah terjadi yakni penggantian istilah SMP menjadi SLTP, SMA menjadi SMU, yang kemudian semua kembali ke istilah SMP dan SMA lagi. Termasuk istilah MID, UAS, UTS, PTS, UKK, dan RPP, Modul Ajar, guru, pendidik, siswa, murid, peserta didik, dan berbagai penggantian istilah lain yang sebenarnya tidak begitu urgen. Pada prinsipnya semua itu sama, mengapa harus dipaksa ganti? Barangkali, itulah yang akhirnya menumbuhkan benih-benih stigma negatif atas positifnya pencetusan pengembangan kurikulum.
Perlu dingat bahwa, kurikulum perlu bertransformasi. Pengembangan kurikulum ialah hal yang sesungguhnya mulia. Hal yang bertujuan baik, untuk memajukan kualitas pendidikan di Indonesia tercinta. Ya, Indonesia yang kita ketahui bersama begitu luasnya dengan kondisi geografis yang beragam pula. Mestinya, kebijakan dalam pengembangan kurikulum juga harus benar-benar mempertimbangkan potensi ketepatan implementasi kurikulum di setiap wilayah Indonesia. Dengan begitu, semoga akan tercipta kemajuan pendidikan yang merata di Indonesia.(*)